Jakarta | Kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11% menjadi 12% akan diberlakukan mulai 1 Januari 2025. Hal ini ditekankan oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, pada Tanggal 8 Agustus 2024 di Kantor Kemenko. Hal yang melatarbelakangi adalah *Undang-undang Nomor 7 tahun 2021 tentang Harmonisasi dan Peraturan Perpajakan (HPP) Pasal 7 (1): Tarif PPN sebesar 12% berlaku paling lambat tanggal 1 Januari 2025.
Perekonomian juga menjadi motor utama dalam pergerakan dan perkembangan sebuah negara, oleh karena itu sebagai pemerhati Ekonomi dan juga sekaligus Analis Kebijakan Ekonomi Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) Ajib Hamdani terpanggil untuk memeberikan pandangan sekaligus edukasi tentang kebijakan ini.
” Dari sisi regulasi, sepanjang tidak ada aturan yang membatalkan pasal tersebut, maka pemerintah akan menjalankan kebijakan kenaikan tarif PPN tersebut, Tetapi secara empiris pemerintah bisa menunda pelaksanaan aturan tersebut. Seperti halnya pemerintah juga menunda pemungutan pajak karbon, yang seharusnya efektif dimulai 1 April 2022 Secara regulasi, pelaksanaan peraturan tergantung willingness dan orientasi pemerintah, ” ucap Ajib (Jakarta 14 Agustus 2024).
Sudut pandang yang lebih rasional menurut Ajib Hamdani harus lah lebih relevan dan harus juga memberikan manfaat yang lebih bagi masyarakat khusus nya, ” pemberlakuan kenaikan tarif PPN ini cenderung lebih karena aspek budgeteir, yaitu fungsi fiskal untuk menambah penerimaan negara. Penerimaan PPN dan PPnBM tahun 2023 sebesar 764,3 triliun. Dengan asumsi pertumbuhan ekonomi sebesar 5% dan inflasi 2,5%pada tahun 2024 dan 2025, maka kenaikan tarif PPN sebesar 1% akan memberikan kontribusi penerimaan tambahan tidak kurang dari 80 triliun pada tahun 2025, ” tuturnya.
Pria muda yang energik ini juga menyampaikan kritikan dan masukan kepada pemerintah, karena memang bagian dari masyarakat itu sendiri dan akan merasakan dampak nya.
” Kalau betul aspek budgeteir ini yang menjadi pertimbangan pemerintah, seharusnya ada kajian yang lebih mendalam, karena tren daya beli masyarakat sedang mengalami penurunan. Data dari Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) oleh Bank Mandiri menunjukkan kelas menengah mengalami penurunan dari 21,45% pada tahun 2019 menjadi 17,44% pada tahun 2023. Lembaga Penyelidikan Ekonomi Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Universitas Indonesia juga menyebutkan 8,5 juta penduduk Indonesia turun ke kelas ekonomi yang lebih rendah dalam rentang 2018-2023, ” ungkap Ajib.
Sambung nya lagi, “Di sisi lain, data makro ekonomi menunjukkan bahwa Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia secara signifikan lebih dari 60% ditopang oleh konsumsi rumah tangga. Artinya, kalau pelemahan daya beli masyarakat ini terus dibebani oleh kebijakan fiskal yang kontraproduktif, maka target pemerintah Prabowo Gibran yang membuat target pertumbuhan ekonomi cukup agresif, akan menghadapi kendala, ” tutur Ajib dalam menyampaikan Pandangan nya.
Menurut Analais Kebijakan Ekonomi (APINDO) ini ada beberapa solusi untuk memdapatkan titik temu dari akar permasalahan ini, akan tetapi peran penting pemerintah sangat lah di butuhkan dalam artia harus mendukung penuh kepada masyarakat.
” Jalan tengahnya, pemerintah bisa melakukan 2 (dua) kebijakan.
Pertama, untuk tetap menjaga daya beli masyarakat, pemerintah bisa menurunkan batas Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) Sesuai dengan PMK Nomor 101 tahun 2016, besaran PTKP adalah sebesar 54 juta per tahun, atau ekuivalen dengan penghasilan 4,5 juta per bulan. Pemerintah bisa menaikkan, misalnya, PTKP sebesar 100 juta. Hal ini bisa mendorong daya beli kelas menengah-bawah. Di kelas ini, setiap kenaikan kemampuan akan cenderung dibelanjakan, sehingga uang kembali berputar di perekonomian dan negara mendapatkan pemasukan.
Kedua, pemerintah fokus mengalokasikan tax cost dengan PPN Ditanggung Pemerintah (DTP) untuk sektor-sektor yang menjadi lokomotif penggerak banyak gerbong ekonomi, misalnya sektor property atau untuk sektor yang mendukung hilirisasi sektor pertanian, perikanan dan peternakan. Tetapi secara kuantitatif harus dihitung betul bahwa tax cost ini satu sisi tetap memberikan dorongan private sector tetap bisa berjalan baik, dan di sisi lain penerimaan negara harus menghasilkan yang sepadan. Sehingga fiskal bisa tetap prudent, ” ungkap nya.
Ajib juga mengakatan, ” Prinsipnya, pemerintah harus mempertimbangkan dengan matang kebijakan untuk menaikkan tarif PPN. Harus ada insentif fiskal yang relevan dengan kemampuan daya beli masyarakat dan juga sektor usaha agar terus berjalan dengan baik. Pertumbuhan ekonomi yang konsisten di atas 5% membutuhkan kebijakan fiskal yang pro dengan pertumbuhan, ” tutup Ajib.
tnn/rls