Jakarta – Menteri Perekonomian Republik Indonesia, Airlangga Hartarto, pada Hari Senin 13 Mei 2024, menyampaikan bahwa target pemerintah adalah menaikkan penerimaan pajak untuk tahun 2025, salah satu opsinya adalah menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Opsi menaikkan tarif PPN ini menjadi sebuah dilema dalam konteks perekonomian nasional.
Paling tidak ada 3 (tiga) sudut pandang yang perlu dicermati. Pertama, dari sisi regulasi, pemerintah memang mempunyai ruang untuk membuat kebijakan menaikkan tarif PPN. Sesuai dengan Undang-undang nomor 7 tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) pasal 7 ayat (1): tarif PPN sebesar 12% (dua belas persen) yang berlaku paling lambat pada tanggal 1 Januari 2025. Pasal ini bisa menjadi konsideran pemerintah dalam menaikkan tarif. Tetapi, di sisi lain, pemerintah juga bisa melakukan penyesuaian waktu atau penundaan, seperti halnya tentang kebijakan pajak karbon yang dilakukan banyak penyesuaian, padahal sudah diatur dalam pasal 13 UU HPP. Artinya, realitas lapangan dan kondisi perekonomian bisa menjadi pertimbangan dalam membuat dan menjalankan kebijakan.
Kedua, dari sisi keuangan negara. Sesuai fungsi utama perpajakan untuk aspek budgeteir, pemerintah mendesain keuangan negara bertumpu secara signifikan terhadap penerimaan pajak, termasuk penerimaan sektor PPN. Dalam APBN 2023, penerimaan sektor PPN dan PPNBM mencapai kisaran 764 triliun. Kalau pemerintah menaikkan tarif PPN menjadi 12%, tahun 2025 penerimaan PPN bisa tereskalasi sekitar 80 triliun tambahan. Asumsi perhitungannya, tingkat pertumbuhan ekonomi 2024 dan 2025 di kisaran 5%-an dan tingkat inflasi 2%-an.
Ketiga, sudut pandang perekonomian nasional. Kenaikan tarif PPN akan memberikan dampak pada perekonomian nasional atas 2 (dua) sisi, yaitu pelaku usaha dan daya beli masyarakat.
Pada prinsipnya PPN adalah pajak yang dikenakan pada konsumen akhir, atau ditanggung oleh masyarakat luas. Sehingga secara umum, akan memberikan tekanan terhadap daya beli masyarakat. Di sisi lain, ketika pelaku usaha meng-absorb kenaikan tarif PPN ke dalam Harga Pokok Penjualan (HPP), hal ini bisa mengurangi keuntungan perusahaan dan menjadi sentimen negatif dalam pengembangan usaha.
Pemerintah seharusnya membuat fokus penerimaan negara dengan skala prioritas yang lebih luas, yaitu atas 4 (empat) hal pokok: pajak, cukai, Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), dan optimalisasi deviden BUMN. Dalam konteks BUMN, Kementerian Keuangan sebagai perpanjangan tangan pemerintah sebagai pemegang saham, seharusnya membuat benchmarking dengan private sector, berapa deviden yang ideal dari BUMN, termasuk ukuran kuantitatif atas perhitungan return on asset (ROA) nya. Kalau pemerintah fokus dengan optimalisasi ini, maka aspek perpajakan bisa lebih banyak sebagai regulerend, atau pengatur ekonomi, bukan hanya sebagai pengumpul uang buat negara.
Secara umum, kebijakan kenaikan tarif PPN perlu dikaji ulang, karena kebijakan ini akan menjadi disinsentif fiskal yang memberikan tekanan terhadap perekonomian yang sedang dalam tren positif. Pemerintah mempunyai ruang tersebut. Tergantung willingness dan orientasi pemerintah dalam memerankan kebijakan fiskalnya.
Jakarta, 14 Mei 2024
Ajib Hamdani (Analis Kebijakan Ekonomi APINDO)