Jakarta – Demokrasi Indonesia yang multi partai sudah bergulir sejak dimulainya awal reformasi tahun 1999. Sejak saat itu partai-partai baru banyak bermunculan untuk ikut kontestasi pemilu tahun 1999 sampai dengan sekarang. Dari mulai Pilpres dan Pilkada dipilih secara langsung oleh rakyat.
Pengelolaan political branding Institusi dan patron tokoh partai berbasis kearifan lokal dengan membangun konektifitas pemilih Calon Kepala daerah dengan institusi Partai dalam kurun waktu tertentu yang outputnya menambah akseptabilitas dan kesukaan terhadap institusi partai.
Menurut pengamat kebijakan publik Wibisono bahwa pemilihan Kepala daerah sejak tahun 2015, 2016, 2017, 2018 dan 2020 ditemukan pra dan pasca Pilkada adalah Partai Politik hanya menjadi mobil rental calon Kepala daerah bahkan sekarang juga terjadi pada pemilihan presiden.
Lanjutnya, eforia partai hanya berlangsung saat proses penjaringan cakada atau pilpres oleh partai, Kader partai lain yang diusung bahkan kader dan ketua partai sendiri setelah terpilih kemudian pindah ke partai lain.
“Dengan problematika politik tersebut, partai tidak bisa membuat komitmen yang solid bersama calon kepala daerah dan calon presidennya, sehingga hanya pragmatisme,” imbuhnya.
“Carut marutnya demokrasi kita dikarenakan perubahan UUD 45 telah menjadi UUD 2002 (97 % palsu dalam UUD 45 yang telah diubah),” jelasnya.
“Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) tidak lagi berdasarkan Pancasila, Negara Kesatuan Republik Indonesia menjadi negara abu abu karena MPR telah dihapus peran dan fungsinya sebagai lembaga tertinggi negara,” kata Wibi.
Lanjutnya, Negara telah menghapus Nilai Proklamasi kemerdekaan Indonesia dan Bhineka Tunggal Ika.
“Sistem ketatanegaraan terkait kejelasan, kepastian, ketertiban negara dikelola sesuai tujuan negara sebagaimana termaktub dalam pembukaan UUD 45, menjadi liar (negara tanpa arah tujuan), oleh karena itu kita harus mulai berpikir, apakah sistem demokrasi kita yang Multi partai ini sudah cocok dengan keinginan rakyat Indonesia,” pungkasnya.
Sementara itu, pemerhati sosial politik dari Riau, Beni Yusandra menyebutkan bahwa demokrasi saat ini cenderung pada sistim ‘demokrasi ayam potong’. Dimana hanya berpatokan suara terbanyak tapi tidak mengutamakan kualitas sang calon. Ibarat ayam potong dianggap lebih unggul daripada ayam kampung dengan alasan kuantitasnya sangat banyak. Padahal orang tahu, bahwa bukan kualitasnya unggul namun jumlahnya yang banyak.
Ia berharap rakyat kedepannya mesti berfikir ulang untuk menilai demokrasi Indonesia hari ini. Sikap elegan dari partai politik untuk mengubah hal ini sangat ditunggu oleh generasi kedepan. (Tnn)